Ayat Hafalan: “Kita patut bersukacita dan bergembira, karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali; ia telah hilang dan telah dapat kembali” (Lukas 15:32).
Pendahuluan: Somerset Maugham menuliskan kisah pendek berjudul “Hujan” menceritakan pengalaman seorang misionaris di Amerika Selatan yang “menobatkan” seorang wanita tuna susila kepada Injil. Dia sangat berbangga, atas keberhasilannya dalam penarikan jiwa, sekalipun mungkin saja metode yang dia gunakan sedikit kasar. Dia menyarankan agar wanita ini kembali ke Amerika Serikata (dari mana ia melarikan diri) untuk memenuhi masa hukumannya di penjara, sekalipun wanita ini memohon agar dia boleh terlepas dari siksaan, hinaan, dan hal yang memalukan dalam penjara. Tetaapi missionaris itu mendesak wanita tersebut bahwa dengan menjalani hukumannya di penjara merupakan bagian dari prose’s pertobatan yang harus dialaminya, itulah sebabnya dia harus menyerahkan dirinya.
Kisah itu berakhir, dengan sangat mengejutkan.. Misionaris itu bunuh diri, tubuhnya yang sudah membusuk ditemukan di pantai. Apakah yang terjadi?? Rupanya, dia telah jatuh ke dalam dosa perzinaan sesbab menggunakan waktu terlalu banyak dengan wanita itu, kkarena tidak sanggup memaafkan kesalahan yang dilakukannya, dia pun membunuh dirinya sendiri.
Suatu pendahuluan untuk pelajaran minggu ini. Cerita di atas, secara singkat sepertinya tidak ada hubungan dengan kita. Namun, ada hubungan yang mendesar dengan kita, dan bahkan semua manusia di dunia yang pernah hidup di dunia ini. Hubungan itu yang akan kita dalami pada pelajaran pekan ini. Hubungan itu adalah: seperti wanita tuna susila dan misionaris ini, kita membutuhkan akan:
1. Pengalaman pribadi akan kasih karunia
2. Jaminan Keselamatan
Dua kebutuhan mendasar misionaris, wanita tuna susila ini, yang mewakili semua manusia, dinyatakan dalam perumpamaan anak yang hilang, yang merupakan inti pelajaran pekan ini.
Intisari: Dalam Lukas 15:1-32, kita mendapati di sana 3 perumapamaan yang hilang.
Perumpamaan domba yang hilang: Dia tahu bahwa dia hilang, namun, dia tidak tahu cara untuk kembali ke kandang. Dibutuhkan seorang gembala untuk mencari, kemudian membawa dia pulang. Pada waktu dia mengetahui domba itu mengetahui gembalanya menemukan dia, dia sangat senang, dan bersedia untuk dituntun gembalanya ke kandang. Perumpamaan ini mewakili kelompok pertama dari manusia yang hilang.
Perumpamaan dirham yang hilang: Dia tidak tahu bahwa dia hilang, dan dia tidak tahu untuk kembali. Untuk mencari dirham ini, diperlukan kecermatan untuk mencari dirham ini, ay. 8. Sebagaimana domba yang hilang, dibutuhkan seseorang yang harus mencarinya. Perumpamaan ini menggambarkan kelompok kedua yang hilang.
Perumpamaan anak yang hilang: Dia tahu dia hilang, dan dia tahu cara untuk kembali. Proses kembalinya ini yang menjadi inti pelajaran kita pekan ini.
Perumpamaan ini diawali dengan cerita dua orang bersaudara yang tinggal di rumah yang sama. Mereka menikmati semua yang ada dalam keluarga mereka. Namun, ada dua karakter yang berbeda dari kedua anak ini. Hal ini mengingatkan kita kepada Kain dan Habel, juga Yakub dan Esau. Mereka hidup dalam lingkungan yang sama, namun memiliki karakter yang berbeda.
Hal apa yang ingin diajarkan Allah di sini? Itu adalah kuasa memilih. Dua kakak beradik ini mewakili seluruh makhluk ciptaan. Setan sebagaimana malaikat lain, menikmati suasana Sorga, namun mereka diberikan kebebasan memilih. Adam dan Hawa demikian juga. Tidak lepas dari keadaan kita, kita semua hidup dalam dunia yang penuh dosa dan akibatnya, namun, sebagaimana anak yang hilang ini, suasana bukanlah berarti menentukan siapa kita. Itu tergantung pada pilihan kita. Allah menciptakan manusia dengan berkat yang diperoleh jika menurut. Allah tahu, penurutan pada akhirnya akan membawa kebahagian dan ketidakpenurutan kepada Allah akan membawa kehancuran. Namun, Allah tidak memaksa manusia untuk menurut.
Dalam cerita anak yang hilang ini, apa kira-kira yang melatarbelakangi anak ini meninggalkan rumah? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita coba tanyakan beberapa pertanyaan:
· Apa tujuan anak ini? Kelihatannya dia ingin menikmati kehidupan dengan caranya, ay. 13,14.
· Apa pekerjaan ayahnya? Jika dilihat dari pekerjaan yang sulung, kelihatannya bapanya adalah seorang petani.
Perhatikan, bapa ini adalah seorang yang kaya dan bijaksana karena dia punya banyak pegawai dan harta, ay. 12. Dibutuhkan pengetahuan untuk mengatur para karyawan. Namun, bapanya memilih pekerjaan pertanian. Apa sebenarnya yang ada dipikiran ayahnya? Perhatikan ayat 14, di sana terjadi bencana kelaparan, namun tidak demikian di rumah ayahnya. Hal ini mengingatkan kita akan cerita Yusuf. Pada waktu seluruh negeri terjadi kelaparan, negeri yang dipimpin Yusuf tidak kelaparan. Jadi, dari sini kita bias mengambil kesimpulan bahwa, sepertinya, ayahnya sudah memprediksi bahwa aka nada bahaya kelaparan, karena dia orang yang bijaksana. Itu sebabnya, ayahnya sengaja memilih bidang pertanian, karena ayahnya tahu bahwa dengan cara ini, dia dapat mempertahankan kebahagian keluargannya dan bahkan orang-orangnya kalau terjadi kelaparan.
Namun, anaknya tidak mau menerima pekerjaan itu. Dia inginkan satu pekerjaan yang lain. Dia tidak percaya dengan pekerjaan bapanya. Dia tidak percaya dengan kebijaksanaan bapanya. Dia mulai merasa bosan dengan kehidupan yang ditetapkan bapanya yang bijaksana itu. Keinginan timbul dalam hatinya, “saya harus meninggalkan kehidupan ini. Ini bukan kehidupan yang saya inginkan. Masih ada kehidupan yang lebih baik daripada ini”, demikianlah anaknya berpikir. Tanpa dia sadari, dia sedang memilih kehidupan yang akan mendatangkan maut kepada dirinya jika dia tidak sadari.
Demikian juga dengan kita, Allah mengetahui bahwa, peraturan-peraturan dalam firman-Nya adalah untuk kebahagian kita. Namun, kita mulai memikirkan untuk memperoleh kebahagiaan menurut cara kita. Anak sulung itu, pada dasarnya, pilihan-pilihan kita yang tidak sesuai dengan firman Allah, sekecil apapun pelanggaran itu, itu akan membawa kepada maut, jika kita tidak bertobat.
Bisa dibayangkan, bapanya sedih pada waktu dia melihat anaknya mau meninggalkan rumah. Bapanya sedih, karena dia tahu apa yang akan dialami anaknya, itu adalah kehancuran hidupnya. Namun, bapanya menghormati hak memilih anak ini. Apa yang terjadi kemudian? Anak ini puas dengan kehidupan seperti yang dia sudah rancangkan. Dia sangat bergembira dengan pencapaian-pencapaiannya. Sepertinya dialah manusia yang paling berbahagia di dunia ini pada waktu itu. Impiannya terkabulkan. Namun, apa yang terjadi sesudahnya? Uangnya habis, bukan hanya itu, diikuti oleh bencana kelaparan, belum cukup, kini dia harus bekerja di kandang babi, namun masih ada lagi yang lebih hina, dia harus berebutan makanan dengan babi, dan sialnya, dia tidak memperolehnya. Pakaiannya kotor dan berbau kandang babi. Sepertinya, tidak ada yang lebih buruk dari keadaan anak bungsu ini.
Demikian jugalah hasil yang diperoleh oleh orang yang melanggar perintah Tuhan. Tidak ada yang lebih buruk dari pada itu. Pelanggaran kepada perintah Tuhan pada dasarnya adalah pilihan yang terburuk yang diambil oleh manusia.
Namun, ada satu hal yang terjadi pada anak ini. Dia memulai langkah awal dalam pertobatannya yaitu, dia menyadari keadaannya yang begitu buruk itu. Namun, satu hal yang menarik dari hal ini adalah, hal yang membuat anak ini menyadari keburukannya. Hal itu adalah penderitaan yang begitu hebat. Dengan penderitaan yang begitu hebat, dengan sendirinya memaksa anak itu untuk menyadari keadaannya yang berdosa. Suatu pelajaran yang menarik mengenai penderitaan. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk memanggil manusia berdosa menyadari dosanya dan memanggilnya untuk kembali kepada Tuhan. Ikuti panggilan itu. Jangan meninggalkan Tuhan dalam penderitaan.
Anak itu berpikir bahwa dia harus kembali agar dia bisa menyelamatkan hidupnya. Tidak ada pemikiran yang lebih penting dari ini, dan dia harus melakukannya. Tanpa kembali, dia akan mati dengan sangat hina, mati dikandang babi. Demikian juga dengan kita, kita harus kembali kepada Tuhan dalam doa dan kembali melihat firman-Nya, membacanya, merenungkannya, menyelidikinya. Jika kita tidak kembali, kita akan mati dengan cara mengerikan, mati bersama ular tua dalam hukuman terakhir.
Pada waktu dia datang kepada bapanya, kata pertama yang dia ucapkan adalah: “Bapa, aku telah berdosa”, ay. 21. Suatu hal yang sangat dirindukan Tuhan adalah kesadaran akan diri kita dan kemudian mengakuinya di hadapan Bapa di Sorga. Akui keberadaan keberdosaan kita. Pengakuan anak ini terjadi sebelum dia datang kepada bapanya, ay. 17,18. Dia telah mengakuinya dalam hatinya, setelah dia berhadapan dengan bapanya, dia mengucapkan pengakuan itu dengan bibirnya. Bukankah ini suatu hal yang kita perlu lakukan juga untuk memperoleh keselamatan itu?
Mungkin hal ini bisa menjadi suatu amaran bagi kita. Kita semua adalah manusia yang sering jatuh. Kita tidak membenarkan untuk melakukan dosa dengan alamiah manusia seperti ini. Namun, ada satu pelajaran yang perlu ditekankan adalah: pada waktu kita melakukan dosa, berapa sering kita merasa aman-aman saja? Kita tidak datang dengan penuh penyesalan dan pengakuan? Bahkan tidak sering, kita merasa diri benar di hadapan Tuhan. Kita merasa diri rohaniawan di hadapan Tuhan. Bukankah pelajaran pekan lalu mengingatkan kita, orang yang memegang jabatan paling sucipun di seluruh dunia, tabiat yang dilambangkan dengan jubah, adalah kotor jika berhadapan dengan Tuhan, apalagi kita?
Jika kita merasa diri benar, kitalah orang Farisi itu. Orang Farisi datang kepada Tuhan dengan tidak memiliki perasaan sebagai orang berdosa. Apalagi penyesalan? Itu tidak ada dalam dirinya. Malahan, yang lebih parah, dia membenarkan dirinya di hadapan Tuhan. Apa firman Tuhan kepadanya? Tindakan orang Farisi itu tidak membuat dia tidak dibenarkan. Dia dipersalahkan oleh Tuhan, Luk. 18:11-14. Tidak ada yang lebih membahayakan jiwa kita di depan pengadilan selain dipersalahkan oleh Tuhan!
Sekarang, mari kita melihat dari sisi bapanya. Perhatikan ayat 20. “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya”. Yang menjadi bahan pemikiran dan pertanyaan, bukankah anaknya yang mencari bapanya? Kenapa bapanya yang pertama melihat anak ini, bukan anak ini yang pertama melihat bapanya? Dari kenyataan ini, kita dapat melihat suasana hati bapa ini. Kelihatannya, ayahnya begitu merindukan anaknya kembali sehingga ia selalu menunggu kedatangan anaknya itu di depan rumahnya. Apalagi saat itu terjadi bencana kelaparan. Sepertinya, ayahnya tahu bahwa anaknya itu ditimpa bencana kelaparan, dan sangat berharap anaknya itu pulang supaya dia selamat dari bencana kelaparan itu. Apa yang bapa ini lakukan? Dia terus menanti dengan penuh kesabaran setiap saat, teristimewa pada waktu bencana itu, bapa menunggu dengan sangat rindu melihat anaknya kembali kepada bapanya supaya diselamatkan.
Bukankah ini suatu gambaran yang sangat tepat tentang Bapa kita di Sorga? Dia begitu merindukan orang yang berdosa itu kembali kepada-Nya. Jika kita sudah melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran itu menghasilkan penderitaan dalam hidup kita. Ketahuilah, Bapa dengan sangat rindu menantikan kita untuk pulang.
Ketika anak ini bertemu dengan bapanya, hal pertama yang dilakukan oleh bapanya adalah memeluk anak itu. Dengan demikian, terjadilah pemulihan itu. Hubungan yang dirusak oleh dosa itu, pada waktu Yesus mati, memberikan jaminan dan harapan untuk bisa kembali disatukan. Namun, persatuan yang sempurna itu terjadi ketika manusia mengambil keputusan untuk kembali kepada Tuhan dengan penuh penyesalan akan dosa-dosanya. Ingatlah hal ini, bapa itu memeluk anak itu bukan pada saat dia dipakaikan jubah baru, tapi pada saat dia datang kepada bapanya. Bukankah ini suatu kabar gembira bagi kita? Hubungan yang retak di taman Eden itu kembali menjadi milik kita dengan sempurna pada saat kita kembali kepada Tuhan. Tindakan untuk datang kepada Tuhan adalah tindakan yang menentukan keselamatan kita.
Sesudah itu, bapa memerintahkan untuk memberikan jubah yang baru kepada anak ini. Tanpa keputusan dari anak ini untuk kembali, dia tidak akan memperoleh jubah pesta itu. Betapa pentingnya untuk datang kepada bapanya dalam cerita anak ini. Demikian juga dengan kita, apabila kita datang dengan penuh penyesalan akan dosa, kita akan dibenarkan. Suatu tindakan yang dilambangkan dengan pemberian jubah.
Pada waktu anak ini berada di kandang babi dan sebelum dia bertemu dengan bapanya, dia mengingat dosa-dosanya, dan itu membuatnya sedih. Namun, setelah dia bertemu dengan bapanya, dia kini bersukacita, ay. 24, sebagai tanda dia tidak mengingat lagi dosa-dosanya.
Ini merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Sebelum kita datang meminta pengampunan kepada Tuhan, ingatlah akan dosa-dosa kita. Namun, sesudah kita datang kepada Tuhan, meminta pengampunan-Nya, janganlah mengingat lagi akan dosa-dosa kita. Itu akan merusak suasana sukacita. Pada waktu kita sudah datang dengan penuh penyesalan, kita mengaku, tapi kita tetap mengingat-ingat dosa kita, kita berdosa. Mengapa? Karena itu merupakan suatu tanda kita tidak percaya kepada Allah. Kita tidak percaya akan kuasa pengampunan Allah. Kita mendengarkan suara Setan yang menuduh kita dan memaksa kita untuk tetap mengingat dosa-dosa yang kita sudah akui di hadapan Tuhan. Apabila kita sudah melalukannya, akuilah itu dihadapan Allah dan percayalah akan kuasa pengampunan-Nya yang sanggup menyelamatakan dari dosa yang paling buruk sekalipun. Bersukacitalah karena hal itu.
Suatu pertanyaan terakhir, kenapa bapanya mengadakan pesta? Karena anak yang hilang itu pulang. Perhatikan hal ini. Tindakan anak ini untuk pulang ke rumah membuat sukacita seluruh hamba-hamba dari bapanya. Suatu gambaran yang tepat tentang sukacita Sorga. Adalah sukacita yang besar di Sorga apabila kita, orang-orang yang berdosa, datang kepada Bapa dengan penuh penyesalan akan dosa-dosa kita dan memohon pengampunan-Nya.